Selain itu, tanpa penentu kelulusan, membuat hasil UN berseberangan dengan prinsip dasar ujian itu sendiri. Penghapusan batas kelulusan, menurut Maryanto menumbuhkan momok baru, yakni pelaku pendidikan merasa was-was karena diduga tidak jujur atau tidak integritas.
“Padahal pokok masalah UN adalah pada prinsip dasar pengukurannya,” papar Maryanto, saat menyampaikan hasil penelitian disertasi untuk gelar doktor-nya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kemarin. Untuk mengetahui kemampuan dan kompetensi siswa yang sesungguhnya menurut Maryanto pemerintah dapat menggunakan dengan model pengukuran Guttman pengukuran konsep dasar reproduksibilitas.
Pasalnya batas kelulusan selalu dapat ditentukan dengan mendudukkan tingkat kemampuan peserta uji berdasarkan tingkat kesukaran butir uji. “Pada kasus seorang peserta uji mendapat nilai tinggi, ketika diujikan butir uji dengan kemampuan rendah dia gagal, maka nilai yang diperolehnya patut diduga karena ada faktor lain,” ujar Maryanto. Seharusnya, pemerintah dapat membangun suasana bahwa kelulusan maupun kegagalan dalam dunia pendidikan bukan suatu hal yang tabu.
“Konsep pengukuran Guttman pengukuran konsep dasar reproduksibilitas mengajak dunia pendidikan tidak tabu lagi apabila berbicara kelulusan atau kegagalan,” jelasnya. Menjawab pernyataan tersebut, Mendikbud, Anies Rasyid Baswedan mengatakan bahwa meskipun tidak menjadi syarat kelulusan, namun standar kelulusan siswa tetap ada. Yakni dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan yang diterjemahkan dalam kurikulum dan diwujudkan dalam ukuran seperti rapor.
“Rapor itu akan merujuk pada standar kompetensi lulusan (SKL),”jelasnya. Dengan kata lain, kelulusan siswa tidak dinilai melalui enam mata pelajaran saja. “kelulusan dikembalikan lagi pada kewenangan guru melalui pembahasan di dewan guru,”tutup Anies
Di tahun 2015 Presiden Jokowi pernah mengingatkan, “Kejujuran merupakan nilai fundamental, nilai dasar dalam membangun karakter bangsa, sekolah harus jadi zona kejujuran, zona integritas.” Mungkin peringatan Presiden tersebut ada hubungannya dengan Kasus Siami 2011 di Surabaya yang merupakan puncak gunung es ketidakjujuran dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan UN.
ReplyDeletePelaksanaan UN yang tidak jujur seperti yang terjadi pada Kasus Siami itu sebenarnya sudah hampir merata, terjadi di mana-mana, dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan para pendidik maupun yang berwenang di dunia pendidikan (Semoga mereka mau merenungkannya dengan hati nurani, karena hati nurani selalu berkata jujur).
Sekarang, karena UN terlaksana secara tidak jujur sehingga tidak akurat sebagai penentu kelulusan, maka diberlakukanlah penentu kelulusan bukanlah UN, melainkan IIUN (Indeks Integritas Ujian Nasional). Padahal yang tidak jujur itu bukan UN-nya, melainkan pelaksana pendidikannya. Jadi, mohon maaf kalau saya pesimis dengan berlakunya IIUN sebagai penentu kelulusan itu, karena pelaksananya tetap pelaksana pendidikan yang berprinsif tidak jujur itu juga.