Refleksi dari Hari Guru Nasional 25 November lalu dan menyimak catatan penting ketika peringatan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-70, Minggu (13/12), di Gelora Bung Karno, tiga tantangan akan profesionalisme, kompetensi, dan kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok sekarang ini.
Sosok guru bukanlah seperti ‘bawang’ yang bisa dibeli semampu pembeli dan bisa dikurangi jika uang pembeli kurang. Sosok guru haruslah mendapatkan penghargaan yang utuh (fisik dan non fisik), agar bermakna utuh bagi para muridnya. Pagi hari sebagai guru, siang hari sebagai guru, dan sore hari juga tetap sebagai guru.
Bersasarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sebelum penjelasan lebih jauh, profesional dalam makna kalimat di atas adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Tuntutan profesionalisme guru ini terlalu berat,jika amunisi tidak mecukupi. Kita harus memaklumi realita ini. Segenap komponen terkait dengan pendidikan harus berpadu satu menyelesaikan permasalahan ini agar guru mampu mendidik siswanya dengan penuh profesionalisme.
Pada 2014 menurut data pendidikan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, tercatat jumlah guru SD/MI/SLB sebanyak 49.387 guru dan untuk SMP/MTs sebanyak 19.049 guru. Rasio guru (PNS dan honorer) terhadap siswa sebenarnya secara kuantitatif sudah sangat ideal, yaitu sebesar 1:17 untuk SD/MI (jumlah siswa 854.356), sebesar 1:16 untuk SMP/MTs (jumlah siswa 307.769), dan sebesar 1:13 untuk SMA/MA/SMK (jumlah siswa 285.995).
Namun, dari sisi jenjang pendidikan, 31,66% guru SD/MI dan 21,38% guru SMP/MTs belum S-1. Kebijakan pemerintah provinsi terkait dengan pendidikan guru harus berpihak kepada upaya agar guru-guru dapat meneruskan ke jenjang S-1 karena sangat mungkin masih banyak di antara mereka yang berpendidikan terakhir hanya lulusan SMA/MA/SMK.
Data dari Dinas Pendidikan tahun 2014 juga menunjukkan bahwa jumlah guru non PNS (honorer) untuk SD/MI mencapai 33,99% dari total guru, sedangkan untuk SMP/MTs mencapai 37,27%. Data ini menggambarkan bahwa guru honorer untuk SD-SMP sebanyak 23.886 guru, jumlah yang sangat tinggi (menurut data PGRI, secara nasional mencapai 1,7 juta guru honorer).
Di Kabupaten Tulangbawang guru SD honorer mencapai 50,12% dan di Mesuji mencapai 47,45%. Sedangkan untuk guru SMP/MTs yang honorer tertinggi di Kabupaten Mesuji sebesar 58,97%. Jika dihitung rasio guru PNS terhadap jumlah siswa untuk SD/MI sampai SMP/MTs, rasionya 1:26. Rasio ini juga masih ideal.
Pemerintah melalui petunjuk teknis penyusunan anggaran BOS menurunkan komponen honor bagi guru honorer dari 20% menjadi 15% (Koran Sindo, 20/4/2015). Namun, pemerintah menaikkan nilai BOS per siswa menjadi Rp800.000/siswa/tahun untuk SD/MI, sedangkan untuk SMP/MTs sebesar Rp1.000.000/siswa/ tahun. Nilai ini masih jauh dari yang diharapkan oleh guru honorer sebagaimana disampaikan Ketua PGRI Sulistiyo bahwa gaji guru honorer tidak manusiawi (Republika, 19/3/2015).
Sebagaimana data menunjukkan bahwa satuan pendidikan yang berada di kabupaten masih di atas 50% belum terakreditasi, data ini menunjukkan bahwa kualitas sekolah tersebut belum memenuhi standar minimal. Sementara data status guru yang non PNS juga banyak terdapat di kabupaten-kabupaten. Hipotesis dari data ini menunjukkan kesejahteraan guru non-PNS yang berada di kabupaten-kabupaten masih kurang.
Guru mendapatkan honor sesuai dengan jumlah jam mengajar, karena ketidakmampuan satuan pendidikan untuk memberikan honor yang layak, honor guru terkadang seadanya.
Wawancara dengan guru honorer yang pernah dilakukan, mereka terkadang menerima honor Rp75 ribu—Rp350 ribu sebulan. Honor tersebut bergantung pada jumlah jam mengajar dan tentunya masih jauh di bawah UMP (sekitar Rp1.375.000).
Beberapa sekolah swasta memberikan honor, misalnya Rp10 ribu/jam pelajaran. Jika yang bersangkutan mengajar 24 jam/minggu, maka yang bersangkutan menerima Rp960 ribu/bulan. Lebih parah lagi, ada beberapa sekolah yang mampunya hanya membayar Rp10.000/jam untuk 1 bulan, tidak ada pengali jumlah minggu, jadi praktis guru honor tersebut hanya menerima Rp240 ribu/bulan. Memang ada beberapa sekolah yang sudah mampu mengalokasikan dana BOS untuk komponen honor sehingga yang diterima guru honorer bertambah Rp200 ribu sampai Rp350 ribu/bulan.
Konsekuensi dari honor tersebut adalah seorang guru honorer harus memiliki profesi lain untuk menopang hidupnya. Maka sangat memungkinkan seorang guru honorer, ketika mendidik sebagai seorang guru sebenarnya memanfaatkan waktu dan tenaga sisa. Harapan akan kualitas pendidikan tentu masih jauh.
Penyelenggara pendidikan tidak bisa disalahkan secara langsung, bagaimanapun mereka telah ikut andil men-support pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa.
Sekolah swasta di daerah kesulitan mengembangkan pendidikan yang berkualitas, itu harus kerja keras. Penyelenggara pendidikan harus mampu membangkitkan sumber-sumber pendanaan yang non konvensional artinya dari usaha nyata sumber penghasilan penopang pengeluaran operasional pendidikan. Kalau hanya mengandalkan dari sumbangan pendidikan wali murid, tentu masih kurang dari yang diharapkan.
Para guru honorer sisa pengangkatan berdasar PP No. 56/2012 harus lebih bersabar lagi untuk menjadi CPNS tahun 2016. Meskipun Menpan RB telah membuat roadmap ihwal pengangkatan, berdasar pembahasan dengan DPR, hal itu belum bisa terakomodasi karena keterbatasan dana (Republika, 15/12/2015). Oleh karena itu, peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru honorer harus lebih riil.
Pertama, kebijakan politik anggaran terkait dengan BOS, nilai per siswa, dan keluwesan agar komponen honor bagi guru honorer menjadi perhatian. Kedua, terkait dengan pengangkatan guru honorer menjadi CPNS hendaknya ada model khusus. Di dalam KKNI, Perpres No. 8 Tahun 2012 sudah dituangkan bahwa lama dan pengalaman bekerja dapat disandingkan dan disetarakan untuk mendapatkan konversi penjenjangan yang lebih tinggi pada level KKNI. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat petunjuk teknis yang jelas dan terukur indikatornya terkait dengan konversi ini untuk bidang pendidikan, bukan hanya untuk industri.
Ketiga, terkait kebijakan pengangkatan CPNS hendaknya ada standar passing grade khusus antara guru honorer yang telah mengabdi minimal 9 tahun dan yang baru lulus dan ini harus transparan. Keempat, pemerintah daerah harus mengupayakan bagaimana agar gaji guru honorer yang mengajar sejumlah jam minimal kewajiban guru hendaknya harus mendapatkan gaji minimal sebesar UMP di daerah tersebut. Hal ini agar guru tidak lagi berprofesi ganda, guru merangkap tukang ojek, merangkap buruh bangunan, dsb, sehingga waktu dan tenaga seorang guru haruslah optimal, bukan sisa.
Kelima, pemerintah harus memberlakukan konsep perijinan sekolah swasta terkait kemampuan penyelenggara pendidikan swasta dalam menjamin pembiayaan. Pembinaan pemerintah terhadap sekolah swasta harus lebih intensif, solusi-solusi terhadap lembaga pendidikan swasta yang tidak mampu dalam pembiayaan, sistem penerimaan siswa di sekolah negeri juga harus memperhatikan keseimbangan. Sehingga tidak membawa efek yang berarti terhadap honor bagi guru di lembaga swasta, khususnya guru-guru honorer di daerah/kabupaten.
Bantuan pemerintah langsung kepada guru harusnya segera ditingkatkan. Untuk itu, data yang valid serta kejujuran penyelenggara pendidikan haruslah diperlukan. Beberapa langkah yang diambil pemerintah saat ini sudah tepat, di antaranya pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru-guru termasuk yang non-PNS.
Untuk memenuhi asas kemerataan guru, hendaknya pemerintah harus tegas terhadap usulan mutasi guru. Hal ini juga sebagai pemicu gap kualitas sekolah yang tinggi antara kota dan kabupaten. Kontrak kerja harus dilakukan sehingga guru yang diangkat di daerah agar tidak mengajukan mutasi.
No comments
Post a Comment